Ngaji Filsafat Bersama Dr. Fahruddin Faiz: Petunjuk Menuju Allah oleh Al- Haris al-Muhasibi



Biografi Singkat Imam Haris al-Muhasibi

Imam Haris al-Muhasibi adalah sosok sufi besar yang juga seorang ulama ahli dalam berbagai bidang ilmu agama, seperti fiqih, hadits, tafsir, dan tasawuf. Beliau hidup di masa kejayaan ilmu pengetahuan Islam dan menjadi pelopor tasawuf sebagai ilmu yang tidak hanya diajarkan secara praktis tetapi juga ditulis dan dijelaskan secara sistematis. Salah satu karya pentingnya adalah Risalah al-Murtasyidin yang berisi petunjuk bagi mereka yang mencari hidayah.

Meskipun berasal dari keluarga kaya raya, al-Muhasibi memilih hidup sederhana karena tidak setuju dengan pandangan teologis keluarganya yang menganut paham Mu’tazilah. Dalam kehidupannya, ia lebih menekankan kesederhanaan, penyucian jiwa, dan kedekatan dengan Allah. Tasawuf yang diajarkannya banyak menginspirasi sufi besar lain yang lahir setelahnya.

Peran Akal dalam Tasawuf
Dalam ajaran al-Muhasibi, akal memiliki kedudukan penting sebagai alat untuk memahami agama dan mendekatkan diri kepada Allah. Ia menjelaskan bahwa:

  1. Akal sebagai Jalan Pemahaman Awal
    Akal digunakan untuk memahami simbolisme dan memberikan kerangka rasional terhadap pengalaman batin atau intuitif yang dirasakan seseorang dalam perjalanan spiritual.

  2. Basis Perbuatan adalah Pemahaman
    Setiap amal harus didasarkan pada pemahaman yang benar. Akal berperan membantu manusia mengarahkan amalnya sesuai dengan apa yang diridai oleh Allah.

  3. Akal sebagai Sarana Penyucian Jiwa
    Aktivitas seperti muhasabah (introspeksi), tafakkur (perenungan), dan tadabbur (memahami ayat-ayat Allah) adalah bentuk aktivitas akal yang mendukung penyucian jiwa.

  4. Akal sebagai Jembatan Ma’rifat
    Melalui akal, manusia dapat mencapai ma’rifat, yaitu pengenalan yang mendalam terhadap Allah. Oleh karena itu, al-Muhasibi mengajarkan pentingnya menghidupkan akal pikiran dalam proses ini. Keimanan yang didukung oleh pemahaman yang mendalam akan jauh lebih kokoh daripada sekadar percaya tanpa dasar.

"Keyakinan hanya akan diperoleh orang yang menggunakan akalnya hingga memahami maksud Allah, hanya melakukan amal yang pasti hukumnya dan membersihkan diri dari yang syubhat." Sebagaimana Rasulullah saw bersabda, “Yang halal sudah jelas dan yang haram sudah jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat (samar), maka meninggalkannya lebih baik daripada melakukannya.” Dengan akal, manusia dapat membedakan yang halal dan haram serta menjaga dirinya dari hal-hal yang meragukan.

Pentingkah Guru dalam Perjalanan Spiritual?
Dalam perjalanan spiritual, al-Muhasibi menyoroti tiga pandangan utama tentang peran guru:

  1. Guru Sangat Penting
    Guru bertindak sebagai pembimbing spiritual yang mengarahkan muridnya pada jalan yang benar, mencegah kesalahan interpretasi, dan menjadi teladan dalam kehidupan. Guru juga menjadi medium transmisi ilmu dan keberkahan.

  2. Guru Tidak Mutlak Diperlukan
    Ada yang berpendapat bahwa perjalanan spiritual bersifat individual dan tidak dapat diwakilkan. Kitab suci Al-Qur'an, sunnah Nabi, dan berbagai kitab spiritual lainnya dianggap cukup untuk membimbing seseorang. Kekhawatiran lain adalah adanya risiko manipulasi oleh guru, relasi kuasa negatif, atau ketergantungan berlebihan yang dapat menjerumuskan murid pada kultus individu.

  3. Guru Diperlukan dengan Syarat
    Guru sangat dibutuhkan di tahap awal untuk memberikan dasar-dasar pemahaman. Namun, setelah mencapai tingkat kematangan spiritual tertentu, seseorang bisa melanjutkan perjalanan tanpa ketergantungan pada guru.

Dalam Risalah al-Murtasyidin, al-Muhasibi menulis bahwa “Jiwa yang jernih tidak memerlukan guru atau bai’at.” Beliau juga membedakan dua jenis guru:

  • Syaikh al-Tarbiyah (Guru Pendidik): Guru yang membantu dalam pembinaan akhlak dan jiwa.
  • Syaikh al-‘Ilm (Guru Pengajar): Guru yang memberikan pemahaman ilmu pengetahuan.

Guru pengajar diperlukan semua orang untuk memahami ilmu yang benar. Namun, jika seseorang sudah memiliki jiwa yang luhur dan ilmu yang cukup, ia hanya memerlukan bimbingan guru pengajar, tidak lagi membutuhkan guru pendidik [Syaikh Ibnu Annad an-Nafzi, Al-Rasail al-sughra].

Keseimbangan Hidup dan Ketawakkalan kepada Allah

Ali r.a berkata :"Takutlah hanya kepada dosamu, berharaplah hanya kepada tuhanmu. Janganlah malu bertanya agar menjadi tahu. Jangan lah orang yang ditanya malu menjawab : 'saya tidak tahu' jika memang jawabannya tidak dia ketahui."

"Jagalah tujuanmu, sibuklah memperbaiki dirimu sendiri ketimbang mengurusi aib orang lain."

Imam Haris al-Muhasibi menekankan pentingnya sikap ridha terhadap ketetapan Allah. 
Ali r.a berkata : "Wahai anak Adam, jangan senang karena kaya, jangan putus asa karena miskin, jangan bersedih karena tertimpa musibah, dan jangan gembira karena hidup makmur. Emas akan diuji dengan Api, sementara orang saleh akan dicoba dengan musibah."

Umar r.a Berkata :"Aku tidak peduli keadaan apa yang kualami, apakah keadaan yang ku senangi ataukah yang kubenci, karena aku tidak tahu kebaikan itu ada di keadaan yang ku senangi atau di keadaan yang kubenci. 

Al-Muhasibi mengingatkan bahwa ujian dalam hidup tidak pernah terjadi tanpa hikmah. Bahkan musibah yang paling pahit sekalipun bisa menjadi cara Allah mendekatkan hamba-Nya kepada-Nya.

Nasihat tentang Waktu dan Prioritas

"Pikirkan baik-baik urusanmu dan bangunlah dari tidurmu karena kamu akan dimintai pertanggung jawaban atas umurmu."

"Jadikan sikap santun sebagai rekan, sikap waspada sebagai kawan, keselamatan sebagai gua persembunyian, waktu luang sebagai harta rampasan perang, dunia sebagai kendaraan dan akhirat sebagai kediaman."

Waktu adalah anugerah yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Imam al-Muhasibi mengajarkan bahwa setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas umur dan waktu yang dihabiskan. Beliau berpesan, “Manfaatkan waktu luangmu seolah itu adalah harta rampasan perang, karena tidak ada jaminan bahwa esok kita masih memiliki waktu.

Pembersihan Diri untuk Mendekat kepada Allah

"Hindari hal-hal yang tidak berguna bagimu, niscaya kamu akan selamat"
Al-Muhasibi menjelaskan tiga hal yang harus dibersihkan untuk mencapai hubungan murni dengan Allah:
  1. Dosa: Baik dosa besar maupun kecil.
  2. Keterikatan: Ketergantungan pada dunia yang melalaikan manusia dari Allah.
  3. Hal-Hal yang Tidak Berguna: Segala aktivitas yang tidak bermanfaat bagi kehidupan dunia maupun akhirat.

Jika ketiga hal ini berhasil dibersihkan, yang tersisa hanyalah Allah dalam hati manusia.

"Ketahuilah bahwa sedikit yang mencukupimu itu lebih baik daripada banyak yang menyengsarakanmu"

"Hati-hatilah terhadap doa orang yang di dzalimi."

Nasihat untuk Hubungan Sosial

"Waspadailah lingkungan kelalaian, tipu daya musuh, nyanyian hawa nafsu, kebuasan syahwat dan angan-angan jiwa."

"Ketahuilah bahwa kebenaran akan didukung oleh penerimaan jiwa terhadapnya . Perhatikanlah sabda Rasulullah s.a.w : Mintalah fatwa kepada hatimu."

"Ikatlah anggota tubuhmu dengan tali kendali ilmu, gembalakanlah ambisimu dengan mengetahui betapa dekatnya Allah denganmu, berdirilah di hadapannya layaknya seorang hamba yang memohon perlindungan, niscaya dia kau dapati penuh kasih dan sayang."

"Jagalah hati dari buruk sangka dengan cara mengartikan baik segala hal. Buanglah kedengkian dengan cara memendekkan angan-angan, dan tepislah kesombongan dengan cara merasakan kekuasaan Allah."

Dalam hubungan antar manusia, penting untuk memiliki teman yang baik. Nabi Saw pernah ditanya : "Manakah teman kami yang terbaik? Beliau menjawab: yang melihatnya saja membuat kalian teringat kepada Allah, yg ucapannya menambah ilmu kalian, yang amalnya memotivasi kalian untuk meraih akhirat."

"Barangsiapa membiarkanmu berarti dia telah menipumu. Barangsiapa tidak mau menerima nasihatmu berarti dia bukan saudara mu."

Umar r.a berkata: "Tidak ada kebaikan pada diri orang yang tidak mau memberi nasihat, dan tidak ada kebaikan pada diri orang yang tidak menyukai para pemberi nasihat."

Kesimpulan
Al-Haris al-Muhasibi adalah seorang sufi yang mengajarkan pentingnya akal, introspeksi, dan kesederhanaan dalam kehidupan spiritual. Nasihat-nasihatnya mengajak kita untuk memanfaatkan akal sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah, menjalani hidup yang ridha dengan ketetapan-Nya, dan menjaga hubungan baik dengan sesama. Ajarannya yang mendalam ini tetap relevan hingga kini, menginspirasi manusia untuk terus memperbaiki diri dan mencari petunjuk menuju Allah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngaji Filsafat Bersama Dr. Fahruddin Faiz | Pendakian Menuju Allah berdasarkan ajaran Ibnul Qayyim Al-Jauziyah

Filosofi Pendidikan Anak : Maria Montessori